Thursday, April 3, 2008

Top five Beaches in West Sumatera

Sumatera Barat identik dengan pegunungan dan air terjun. Tak banyak yang tahu di Provinsi ini terdapat puluhan panai beraneka bentuk dan keunikan yang siap menanti kedatangan wisatawan di Ranah Minang. Berikut adalah 5 Pantai terbaik menurut versi saya sendiri. Standar ukurannya adalah keunikan, keindahan, akses, dan fasilitas yang tersedia. Semoga bisa menjadi referensi liburan anda bila berkunjung ke Sumatera Barat.

  1. Pantai Cermin Pariaman. Pantai ini begitu mudah dijangkau dengan berbagai moda trasportasi dari Kota Padang maupun dari kota pariaman sendiri. Dengan kereta Api, bus maupun dengan Bendi (kendaraan tradisional Minangkabau). Pasir nya lembut berwarna putih ke abu-abuan, terhampar luas dengan ombak yang tidak begitu besar sehingga pantai ini cocok untuk berenang dan olah raga air lainnya. Jejeran pohon pinus dan jogging track tersedia bagi yang ingin jalan-jalan menikmati angin pantai atau sekedar menikmati suara ombak bersama sang kekasih. Kelebihan pantai ini adalah pada saat sunset, dimana matahari tenggelam di ufuk barat, tepat dibelakang Pulau Kasiak yang berjarak hanya 2 KM dari bibir pantai.
  2. Pantai Ulak Karang. Berada tepat dijantung kota Padang, dengan pantai yang luas dan berpasir lembut menjadikan Pantai Ulak Karang menduduki posisi kedua dalam top 5 beach di Sumatera Barat. Akses yang mudah, fasilitas olah raga air yang lengkap serta aneka kuliner yang bisa didapat dengan mudah di sekitar pantai melengkapi keindahan pantai Ulak Karang. Masih disebelah pantai Ulak Karang terdapat Danau Cimpago yang potensial untuk olah raga air seperti kayak atau kano. Juga dedekat pantai ini terdapat Muara Sungai Banda Bakali yang berair bersih yang cocok untuk olah raga pacu sampan.
  3. Pantai Padang. Easy to reach, easy to see and easy to see and easy to enjoy, tiga hal ini menempatkan pantai Padang pada posisi ketiga di jajaran pantai-pantai tercantik di Ranah Minang. Meskipun pantainya tidak terlalu luas namun pesona pantia padang sebenarnya terletak pada kemudahan akses dan beragam pilihan hiburan yang ada di sana. Dari pantai ini juga relatif dekat ke objek wisata lainny ayang bisa ditempuh dengan jalan kaki, yaitu Kota Tua, Jembtan Siti Nurbaya dan Gunung Padang. Suara ombak yang pecak di batu, angin dan aneka jajanan yang tersdia di sepanjang pantai memanjakan pengunjung yang ingin menikmati indahnya langit pada saat matahri terbenam di pantai ini.
  4. Pantai Air Manis. Legenda Batu Malin Kundang satu diantara kelebihan yang ditawarkan Pantai berpasir coklat ini. Pantai dengan butiran pasir coklat yang landai dan terhampar luas dintara celah bukit serta legenda Anak Durhaka yang dikutuk sang ibu menjadi Batu bisa anda saksikan disini. Bukan hanya itu, dalam perjalanan menuju pantai, anda akan disuguhi rimbunnya hutan dan udara yang sejuk serta tinkah polah monyet yang kadang-kadang muncul menggoda pengunjung agar memberi mereka makanan sekedarnya. Dikawasan ini terdapat dua pulau, Pulau Pisang Ketek (kecil) dan Pulau Pisang Gadang (besar). Pada saat air surut, Pulau Pisang Kecil dapat dicapai dengan jalan kaki, karena air masih setingi lutut.
  5. Pantai Tiku. Pasir putih, ombak dan semilir angin, adalah keunikan pantai Tiku. Tidak banyak pilihan aktifitas acara dapat dilakukan disini, kecuali bersantai menikmati anugerah tuhan di Bumi Sumatera Barat. Pantai ini menawarkan kedamaian dan ketenagan bial anda tidak ingin terusik hingar bingarnya perkotaan. Kedamaian inilah yang mebuat pantai Tiku masuk dalam 5 besar pantai di Sumatera Barat.

Sunday, January 6, 2008

UPBM, Martir Minang yang Bukan Minang

Suatu hari, di meja redaksi sebuah majalah bergenre Minangkabau, datang sepucuk surat. Dari kop surat tersebut, terlihat jelas bahwa si pengirim adalah sebuah organisasi mahasiswa dari Universitas Padjadjaran – Bandung yang menamakan dirinya Unit Pencinta Budaya Minangkabau (UPBM).

Setelah dibaca, ternyata surat tersebut menyampaikan keberatan organisasi ini atas statements dari artikel majalah ini yang dimuat pada edisi lalu, karena mencantumkan UPBM sebgai salah satu unit organisasi mahasiswa Minang yang ada di kampus-kampus perguruan tinggi di Bandung. Sebuah tanda tanya besar muncul di benak redaksi, kalau begitu apa UPBM itu? Bukankah di namanya jelas-jelas di sebutkan Minangkabau sebagai roh gerakannya?

Memang tak banyak yang memahami keberadaan organisasi yang berdiri bulan Oktober 1986 ini. Jangankan pihak luar, kalangan civitas akademika UNPAD pun akan dengan seenaknya menyebutkan UPBM dengan sebutan Unit Padang atau Unit Minang UNPAD. Pun begitu dengan anggota organisasi ini yang masih belia dan masih belum memahami apa sebenarnya UPBM tersebut.

Dalam AD/ART pendiriannya, UPBM sudah menasbihkan diri sebgai unit penalaran budaya, yang mengambil kebudayaan Minangkabau sebagai dasar pijaknya. Meskipun mayoritas founding father dari organisasi ini adalah mahasiswa asal Minang, tapi dengan kesadaran dan nasionalitas tinggi, serta pandangan visi kedepan, mereka tidak merancang UPBM sebagai unit yang bersifat paguyuban atau primordial. UPBM dirancang untuk terbuka terhadap siapa saja yang ingin mengenal dan mempelajari secara bersama-sama kebudayaan Minangkabau.

Dari kacamata UNPAD sendiri, UPBM merupakan salah satu bukti keragaman UNPAD dan menampik pameo yang beredar bahwa UNPAD hanya untuk Pasundan. Dengan membentuk UPBM, UNPAD ternyata telah membuktikan dirinya bahwa perguruan tinggi ini adalah institusi terbuka dan moderat.

Sebagai unit Penalaran Budaya yang mengupas Minangkabau sebagai roh dari setiap pengkajiannya, UPBM mencoba mengadaptasi nilai-nilai demokratis adat Minangkabau dalam kehidupan berorganisasi. Prinsip kkeluargaan dalam bergaul, dan mengedepankan Profesionalitas dalam setiap urusan organisasi. Suatu kombinasi yang unik yang menjadi UPBM berbeda dengan unit kegiatan lainnya di UNPAD, dan unit berbasis Minangkabau lainnya di Bandung.

Struktur kepengurusan mengadaptasi prinsip tungku tigo sajarangan, dimana fungsi Ninik Mamak (fungsi eksekutif) dipegang oleh Ketua dan jajaran pengurusnya, fungsi Alim Ulama (Judikatif) dipegang oleh Badan Musyawarah Angota, dan fungsi Cadiak Pandai (Legislatif) dipegang oleh Badan Musyawah Anggota yang diadakan setiap tahun.

Dalam setiap kegiatan, UPBM selalu mengedepankan kepentingan kaderisasi dengan penggemblengan proses berpikir dan kemampuan berwacana. Prinsip ini juga diambil dari kebiasaan masyarakat Minang yang selalu mencari kata mufakat dalam setiap penyelesaian masalah dan gemar melakukan diskusus dalamkehidupan sehari-hari. Dalam masyarakat Minang tempo dulu, Lapau selalu menjadi sentral diskursus dimana banyak ide-ide cemerlang yang muncul dari dialektika khas lokal Minang. Dialektika dan Diskursus inilah yang menjadi acuan dasar kedarisasi UPBM. Anggota UPBM di latih untuk dewasa dalam berpendapat. Basilang kayu ma hiduik, artinya peredaan pendapat adalah kunci menemukan titik terang dan ide yang lebih bernas. Perlu dicatat, setiap rapat ataupun pembicaraan resmi UPBM selalu dibawakan dengan bahasa Indonesia. Hal ini merupakan komitmen dari keterbukaan unit ini terhadap mahasiswa non minang yang ingin ikut bergabung di UPBM.

Salah satu ejawantah dari Penalaran Budaya UPBM adalah kegiatan pengkajian kesenian. Minangkabau yang kaya akan seni dan tradisi seolah-olah tak pernah habis untuk digali dan dipelajari. Keunikan UPBM dalam hal ini adalah, UPBM menjadikan kegiatan kesenian ini sebagai wadah pembentukan mental dan semakin memahami nilai-nilai adat Minang. Sehingga diharapkan anggota tidak hanya bisa dan trampil memainkan atau membawakan seni tradisi seperti tarian, musik, randai dan sebagainya, akan tetapi juga memahami apa yang dipelajari tersebut. Ini cukup berat, mengingat ketiadaan nara sumber dan keterbatasan waktu.

Hampir setiap pendaftaran anggota baru, 40% pendaftar adalah mahasiwa bukan Minang dan bukan dari Sumatera Barat. Ini menunjukkan bahwa UPBM memang tidak diperuntukkan untuk Organisasi yang bersifat paguyuban atau pun primordial.

Akan tetapi, kecendrungan seperti ini hampir ada tiap tahunnya, dan rata-rata mahasiswa Minang sendirilah yang ingin membelokkan UPBM kearah kedaerahan yang sempit. Tentu ini tidak sesuai dengan visi awal pendirian organisasi ini.

Meskipun UPBM bukan sebuah unit kedaerah khusus Minang, akan tetapi, anggota UPBM diperkenankan mengembangkan kemampuan organisasi mereka di luar UPBM, bahkan di luar UNPAD.

Anggota UPBM tidak diharapkan menjadi manusia-manusia yang “bagak kandang”. Mengadopsi tradisi merantau di Minangkabau, setelah mendapat bekal yang cukup, anggota UPBM diharapkan berkiprah di luar UPBM, di organisasi kemahasiswaa maupun sosil kemasyarakatan di dalam atau diluar UNPAD dengan tetap menjalin komunikasi dengan Motherlandnya (UPBM).

Ketika kader-kader tersebut pulang dari perantauannya, membawa ilmu baru dan penalaman baru, yang kemudian akan di curahkan dalam Palanta UPBM. Sharing ilmu dan pengalaman, baik dengan kader yang senior maupun baru tentu akan semakin memperkaya khasanah berpikir dan wawasan anggota. Disitulah kunci utama organisasi UPBM. Tradisi inilah yang dipertahankan secara turun temurun selama leih kurang 20 tahun umur Unit ini.

Hasilnya, untuk lingkungan UNPAD, UPBM selalu menjadi centre of excellent dimana banyak anggota dan kader-kadernya yang kemudian aktif di Orgnanisasi kemahasiswaan lainnya di UNPAD, yang kemudian mendapat posisi penting bahkan dipercaya menjadi tampuk pimpinan di Organisasi tersebut. Beberapa kader UPBM pernah menjabat ketua Senat Fakultas dan Ketua Senat Universitas pada masanya. Mereka adalah kader-kader yang di awal karir organisasinya digembleng di Lapau Palanta UPBM.

Diluar UNPAD, anggota UPBM secara personal, turut aktif meramaikan kegiatan silahturahmi mahasiswa Minang se Bandung raya, atau kegiatan-kegiatan besar yang digelar oleh Persatuan Keluarga Minang. UPBM secara organisasi pun menjadikan Unit Mahasiswa Minang di Perguruan Tinggi, dan Organisasi berbasis Minang lainnya sebagai rekan dan mitra. Namun kembali ditegaskan disini, UPBM sendiri bukanlah unit Minang, akan tetapi Unit Kegiatan Mahasiswa yang Mencintai Minangkabau.

Antara Laskar Pelangi, The Secret dan Law of Attraction; DARE TO DREAM

Akhir-akhir ini tiba-tiba saja ghirah membaca ku kembali menyala setelah hampir tiga tahun meredup dikalahkan rutinitas pekerjaan. Target satu buku dalam satu bulan yang pernah aku canangkan dalam sanubariku disaksikan dinding kamar kos dan dua buah kaligrafi bertuliskan Allah dan Rasulnya, Muhammad SAW, sudah lama tak bisa aku tepati lagi.

Memang, aku masih menyempatkan membeli paling tidak satu buah buku tiap bulan, atau kadang 2 bulan sekali. Tapi buku tersebut kemudian kususun rapi di rak buku yang sengaja kubeli dan kemudian diam tak tersentuh. Hanya partikel debu yang kemudian bercampur senyawa H2O yang menghuni sampul-sampul buku tersebut.

Tapi tidak untuk kali ini. Pada awalnya karena kejengkelan ku selalu dicekoki oleh salah seorang petinggi di kantor yang senantiasa berceloteh tentang buku yang baru dibacanya. Buku yang membuat matanya terbuka lagi untuk tetap semangat, akunya. Buku itu berjudul “The Secret” karangan Rhonda Byrne. Karena penasaran, aku segera membawa “Meri”, kekasih setia ku di Pulau Dewata ini ke toko Buku. Setelah menitipkan Meri di parkiran, dengan santai dan gontai plus sandal jepit kesayanganku aku menemukan buku bersampul coklat tua yang di desain ala Abad Pertengahan. Menarik, pikirku.

(Oh yah, sebelum dilanjutkan, demi menepis gosip yang tidak-tidak, perlu kujelaskan disini bahwa kekasihku Meri itu tak lain dari sebuah benda broda dua, buatan jepang dengan merk seperti sayap dengan inisial H alis Sepeda Motor Bebek merk Honda Supra X CW yang kubeli dengan pinjaman koperasi tahun 2006 silam. Kunamakan meri sesuai dengan warnanya, Merah Itam Manis…(ciri-ciri lelaki jomblo kumpulsif yang gagal bercinta namun sangat mengidamkan wanita…hahahahaa). Oh ya, aku masih punya satu lagi kekasih yang jarang kuajak jalan-jalan, paling di hari libur atau pada waktu mood ku sedang bagus untuk mengurangi tonjolan indah disekitar pinggan dan perut, namanya BELINDA. Lain kali saja kuceritakan kisah sicantik yang satu ini.;)

Lanjut…!!!

Sayang, baru setengah dari buku itu sempatku baca. Namun paling tidak aku sudah bisa menarik beberapa resep jitu yang dibeberkan dalam buku itu agar sukses dalam kehidupan. Dan bagiku sebenarnya itu bukan hal yang baru. Pak Syafrizal Ghazali, guru mengajiku di Mesjid Quwwatul Ummah, mesjid yang berada dikomplek perumahan sederhana di sudut pinggiran kota Padang, beliau telah mengajari nilai ke-Islam-an dan ke-Minangkabau-an yang pada intinya sama dengan buku ini. Berdo’a dan Berbaik sangkalah pada Allah.

Dua petuah bijak yang masih ku ingat sampai saat ini. Tidak hanya pak Syaf, akan tetapi juga Buya Salmadanis guru Silatku , Anduang Tinun adik perempuan nenek buyutku yang jug aperempuan paling sepuh di dalam klan matrilineal kami, Apa, Ibuk , Ni Rina, bahkan sahabatku di bangku kuliah, Roni Siregar yang rela melepas jabatannya di perusahaan asuransi terkemuka di kota Bandung dan hijrah ke Depok menjadi guru bahasa Inggris demi idealismenya menentang praktik riba, juga berpesan tentang hal yang sama. Berdo’a dan Husnudzon.

Yah, untuk sementara The Secret aku tinggalkan dulu. Buku itu menarik, hanya saja aku merasa dalam buku tersebut tidak ada lagi hal yang dapat menggelitik rasa penasaranku untuk terus membacanya.

Perhatianku beralih pada sebuah buku cerita tentang kehidupan seorang anak Melayu di Pulau yang dulu terkenal karena kaya akan kandungan timah, Belitung. Awalnya aku membaca buku ini karena buku ini sudah dibaca tuntas oleh salah seorang kawan sekantor. Biasanya Laki-laki beranak dua itu tidak terlalu tertarik dengan cerita-cerita yang sampulnya saja seperti buku cerita anak-anak atau paling tidak seperti buku-buku renungannya Gede Prama. Setahuku ia lebih tertarik dengan buku-buku eksentrik sekelas Jakarta Undercover 1 dan 2 yang jadi buku panduannya kalau ke Jakarta (ops….hehehhe). Atau buku tentang Mushashi, karena mungkin ia terobsesi dengan jagoan pedang dari negeri Jepang itu.

Laskar Pelangi, buku pertama dari tetralogi Andrea Hirata, Melayu dari Pedalaman Belitong pertama yang menjadi pakar Ekonomi Mikro, itulah judul buku bersampul ungu dan pink tersebut. Firasat pertama ku mungkin karena buku ini bersetting di tanah Belitung, satu propinsi dengan Bangka tempat kawanku itu dulu bekerja, itulah sebabnya dia melahap habis buku ini.

Tapi dugaanku salah. Gaya bertutur Andrea Hirata yang ringan dengan disana-sini dibumbui konsep dan teori ilmiah (hmm…ahli sastra menyebut ini sebagai Gaya Sastra Saintifik) membuatku larut juga dalam cerita buku. Memang, seperti anak Melayu, umumnya, baik di Belitung, maupun di Minangkabau (kami termasuk rumpun melayu Madya, meskipun kami tidak suka disebut Melayu), tradisi dan permainan dalam buku tersebut sangat dekat dengan masa laluku sendiri.

Meskipun agak terbata-bata, buku pertama dari Tetralogi tersebut berhasil kutamatkan dalam waktu 2 minggu. Setengahnya memakan waktu 13 hari 22 jam, dan sisa nya hanya 2 jam, khatam ku baca dalam perjalanan pewasat dari Denpasar ke Jakarta.

Mungkin baru buku inilah yang membuatku tertawa dan menangis sendiri. Disamping itu, aku tidak perlu megerinyitkan dahiku untuk memahami apa maksud dan alur cerita dari buku tersebut, karena bahasanya mengalir bak air sungai Batang Anai. Jernih mengalir sampai ke muara dan bersatu dengan birunya samudera Hindia. Aku tidak perlu mereka-reka dan membuncah ranah semiotika seperti aku membaca cerpennya AA Navis, Gus TF Sakai, atau Novelnya Dee Lestari.

Kemudian, sesuai urutannya aku mulai melahap bagian kedua dari tetralogi tersebut, berjudul ”Sang Pemimpi”. Setelah berhasil mendapatkannya di toko Buku kota Denpasar yang waktu itu sedang bermandikan hujan bersama kekasih tercintaku yang setia, Meri, satu persatu kalimat-kalimat yang dirangkai Andrea kucerna di kepalaku. Masih dengan gaya bahasa yang mengalir, cerita satir dan mengharukan berhasil kurekam. Dan Hirata berhasil membuat mataku berkaca-kaca pada bagian dimana Ikal (Hirata sendiri) dan saudara sepupunya Arai berpisah dengan Ibu, Ayah, Bu Muslimah dan lain-lain. Bagian yang paling kuingat adalah saat Jimbron menyerahkan dua buah celengan kuda, yang berisi hasil cucur keringat nya menjadi kuli di dermaga kota Magai-Belitung. Itulah persahabatan, lebih murni dari cinta sorang kekasih karena tulus tanpa berharap imbal balik dan tidak berkesudahan.

Akhir dari cerita ”Sang Pemimpi” ini tiba-tiba mengingatkanku pada buku pertama yang kubaca di penghujung tahun 2007 lalu, the Secret. Kalau pada buku karangan Wanita Bule yang hidup penuh kemapanan itu disebutkan bahwa hukum tarik-menarik (Low of Attraction) yang membuat mimpi kita menjadi nyata. Maka di dua buku tetralogi Hirata aku menemukan wujud nyata dari hukum imajiner tersebut. Teruslah bermimpi !!!

Kembali aku teringat pesan guru-guru mengajiku, ”Jan Lupo sumbayang yuang, bado’a bakeh Tuhan Allah, itulah kekuatan kito urang Islam nan indak ado bandiangannyo di duya ko...Insyaallah, Allah pasti ka mangabua an do’a kito jo caro nan indak pernah kito sangko (artinya kira-kira begini; Jangan lupa sholat wahai Buyung, berdo’alah pada Tuhan Allah, itulah kekuatan kita orang islam yang tiada bandingannya di dunia ini. Insyaallah, Allah pasti akan mengabulkan do’a kita dengan cara yang tidak pernah kita duga )

Oh ya, ada satu lagi buku yang bahkan belum kubuka, rekomendasi Kang Rahmat, rekan kerjaku, bertajuk ”Law of Attraction”, karangan Michael J Losier. Tapi aku reka-reka isinya kurang lebih sama dengan The Secret nya Rhonda. Jadi aku memutuskan menunda dulu melahap rangkaian kalimat buku tersebut, dan memusatkan perhatian pada tetralogi Laskar Pelangi ini, karena masih ada 2 lagi buku yang aku wajib selesaikan, Edensor dan Maryamah karpov yang katanya baru sampai Denpasar di akhir Januari ini.

Setelah serangkaian euforia membaca ini, aku sampai pada kesimpulan yang sudah ku buktikan sendiri bahwa cita-cita, mimpi dan do’a adalah kekuatan tersebesar manusia. Manusia tanpa cita-cita, mimpi dan tentu saja do’a, sama dengan harimau tanpa taring dan kuku. Hidupnya ibarat sampan tak bercadik di tengah lautan maha luas, tak tahu tujuan dan arah dalam hidup.

Tiga hari aku menamatkan buku kedua Hirata. Dihalaman terakhir, beberapa detik setelah kalimat terakhir di buku itu selesai kubaca, segera kukirim sms singkat kepada Kawanku, yang mengenalkanku pada tetralogi ini, ” Finished with Sang Pemimpi, Lesson; Dare to dream coz dreaming is the most powerfull human power..”

(Denpasar, 5 Januari 2008)

Friday, December 21, 2007

Urgensi Museum Budaya Pariaman, Keunikan Minangkabau Pesisir

Oi di Piaman tadanga langang

Alah batabuik mangko ka rami

Saat ini hampir tidak terdengar kabar apapun dari kota Pariaman, kota kecil di Pesisir Barat Sumatera Barat. Kota ini juga hanya jadi lokasi persinggahan sementara atau kota hanya lewat. Hampir tidak ada hal khusus yang bisa didapatkan di kota ini.

Kondisi ini tentu jauh berbeda pada masa Abad ke 15 dan 16, sebelum Belanda mencengkramkan kuku di Indonesia dan mendirikan Bandar Padang di Kota Padang saat ini.

Pada saat itu, Pariaman bisa dikatakan sebagai metropolisnya pantai Barat Sumatera. Kota ini merupakan Bandar perdagangan tersibuk di Pantao Barat Sumatera. Kota ini merupakan pertemuan antara saudagar-saudagar Aceh, Arab, Gujarat, Parsi dan Turki dengan Petani-petani dari Minangkabau dari daerah darek.

Pariaman adalah pintu gerbang memasuki alam Minangkabau yang pada waktiu berpusat di Pagaruyung, Tanah Datar. Kota ini juga menjadi simbol pembauran antar berbagai etnis dan pusat penyebaran Islam di Sumatera Brat pada fase pertama.

Akibat pembauran tersebut, Pariaman menjadi kaya akan khasanah budaya dan tradisi yang unik dan tidak dijumpai ditempat lain di Sumatera Barat. Sebut saja makanan, tarian, rumah adapt, bahkan sistem pemberian gelar yang berbeda dengan sistem di daerah Minangkabau lainnya.

Kesenian Tabuik yang menjadi ikon Pariaman juga menguatkan betapa daerah ini sangat permisif terhadap masuknya berbagai kebudayaan baru dan juga ramah terhadap pendatang, meski tidak menlunturkan identitas dan local genius dari masyarakat Minangkabau Pariaman yang disebut juga Minangkabau Pasisia.

Kejayaan Pariaman sebagai kota Bandar perdagangan meredup seiring pembangunan Bandar Padang oleh Belanda pada awal abad ke 17. Laut yang dangkal menyebabkan kapal-kapal besar tidak bisa merapat ke Pariaman. Sehingga pada saudagar lebih memilih melabuhkan kapalnya di Pelabuhan Muaro di Kota Padang.

Kondisi ini terus meredup sampai saat ini. Kota Pariaman yang dulunya menjadi tempat perantauan, kini malah ditinggalkan oleh penduduknya yang merantu ke Padang dan kenegeri-negeri jauh di seantero Nusantara. Oleh karena itu masyarakat Piaman dikenal sebagai masyarakat perantau yang tanguh yang berhasil di berbagai tempat di Indonesia.

Akan tetapi apakah nasib Pariaman hanya sampai disitu, apakah tidak ada lagi yang bisa digali di Pariaman.

Sebenarnya Pariaman tidak hanya dikarunia kebudayaan yang beragam dan kaya saja, tapi juga dikarunia jejeran pantai-pantai berpasir putih ke abu-abuan yang membentang sepanjang dan sejauh mata memandang. Pemadangan laut yang biru semakin dipercantik dengan jejeran pula-pulau mungil nan cantik. Apakah kekayaan alam dan budaya ini tidak ukup untuk mengangkat pamor Pariaman lagi?

Beranjak dari kondisi tersebut, sudah saatnya Pariaman bergerak mengukuhkan identtas budayanya. Pariaman sudah saatnya memiliki sebuah museum atau pusat budaya yang dapat menginventarisir kebudayaan Pariaman. Museum ini juga bisa menajdi pusat informasi kebudayaan dan pariwisata Pariaman yang kahs dan unik.

Museum adalah gudang penyimoanan dan penjaga peradaban bangsa. Sangatlah disayangakn kebudayaan Pariaman yang kaya hilang tergerus zaman, karena ketiadaan Museum tersebut. Jangan sampai anak cucu keturunan Pariaman melihat Tabuik, mempelajari prosesi adat perkawinn Pariaman harus jauh-jauh ke Jakarta atau bahkan ke Malaysia karena di tanah leluhurnya sendiri sudah tidak ada lagi yang tersisa.

Bali, sebagai provinsi dan primadona pariwisata menyadai hal ini. Setiap kabupaten dan Kota di Bali memiliki museum kebudayan sebgai pusat informasi seni budaya dan pariwisata. Dan Museum ini menjadi daftar kunjungan wajib para wisatawan minat khusus yang datang ke daerah ini.

Memang tidak bijak juga membebankan semua tangungjawab ini ke pundak Pemerintah Daerah, perlu uluran tangan bersama pihak tekait untuk mewujudkan hal ini. Para perantau Pariaman yang suskses, putra-putri yang terdidik dan tak ketingalan potnsi masyarakat pariaman sendiri tentu dapat bahu membahu mewujudkan hal ini.

Beberapa paguyuban keluaga Pariaman, seperti Persatuan Keluarga Daerah Pariaman (PKDP) atau lains ebgaina dapat bersatu mewujudkanmimpi ini. Dan tentu saja pemerintah selaku regulator dan pemegang policy sangat berperan penting dalam men’drive’ mimpi ini. Sehingga masyarkat pariaman dapat kembali “Mambangkik Batang Tarandam”, mengulang masa keemasan kota ini yang dulunya sebagai bandar pertemuan saudagar seluruh dunia, kini menjadi bandar pertemuan wisatawan seluuh dunia. (Bot Sosani Piliang)



Marine Echo Tourism yang Berbasis Kerakyatan Demi Kelestarian Kawasan Mandeh



Dari sekian banyak potensi wisata di Sumatera Barat, kawasan Carocok Mandeh atau disebut juga kawasan Danau Air Asin menempati posisi istimewa mengingat keunikannya dan membedakannya dengan kawasan serupa di Sumatea atau Jawa.

Bagi para penggila wisata, Sumatra lebih dikenal dengan hutan tropis dan pegunungannya yang eksotik. Kecuali Mentawai dan Nias, hampir tidak ada wisatawan yang menempatkan Sumatera sebagai destinasi wisata pantai dan bahari.

Hal ini dikarenakan potensi pantai di Sumatera yang memang secara umum tidak sebagus pantai dan laut dio bagian timur Indonesia. Akan tetapi, kawasan wisata Carocok Mandeh telah menjawab itu semua. Jika anda berkunjung dan berselancar di situs-situs yang memuat foto-foto pulau eksotikm yang bertebaran di kawasan terseut, tidak ada yang percaya kalau pantai berpasi putih dan laut sejernih kristal itu berada di Pulau Sumatera, tepatnya di Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat.

Secara geologis, kawasan Mandeh merupakan bekas kawah Gunung Api purba yang umurnya jauh lebih tua dari letusan Gunung Toba. Hasil proses alam ini menjadikan kawasan Mandeh ibarat danau yang terjebak di lautan.Sebuah laguna raksana yang dikelilingi pulau-pulau dengan bukit-bukit kecil. Hasilnya, perpaduan yag sangat cantik antara hijau dan lebatnya pepohonan khas hutan tropis Sumatra, pepohonan kelapa, pasir putih keemasan dan laut yang jernih sebening kristal. Laguna inipun kaya akan bergai flora dan fauna laut, terumbu karang nan elok dan kekayaan taman laut nan cantik. Betul-betul sebuah sisi lain dari Surga AlamMinangkabau yang elok.

Sejak pertengahan era 90an, beberapa resort sederhana dan mewah didirikan disana. Paling tidak, sampai saat ini Dua pulau, yakni Pulau Sikuai dan Pulau Cibadak sudah berdiri beberapa resort dan cottage yang namanya sudah melanglang buana dan menjadi buah bibir para penggila travel dan berbagai forum wisata petualang.

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat kemudian menjadikan kawasan Mandeh sebagai kawasan wisata terpadu yang diproyeksikan sebagai primadona wisata di bagian barat Indonesia.

Namun, dari beberapa tulisan para pelancong yang pernah menyingahi surga marina ranah minang ini, kawasan Mandeh sekarang tidak persis secantik yang pernah santer terdengar. Khususnya pesona bawah laut yang konon kabarnya cantik dan indah kini tak lebih dari onggokan terumubu karang yang mati. Meskipun masih banyak dijumpai ikan-ikan cantik berseliweran, namun warna-warni terumbu karnag yang pernah menghiasi kawasan mandeh sudah jarang dijumpai.

Secara awam, sangat mudah mencari siapa pelaku pengrusakan ini. Kekayaan lautan Mandeh yang tersohor dengan ikannya yang banyak membuat beberapa oknum serakah menggunakan bom untuk mendapat ikan sehingga menghancurkan terumbu karang yang ada. Kondisi ini diperparah dengan eksploitasi dan pengambilan terumbu karang untuk dijual di beberapa lokasi wisata di kota Padang, seperti di Pantai Air Manis dan Pantai Padang oleh masyarakat lokal.

Kondisi yang berlangsung cukup lama ini, akhirnya nyaris merenggut kecantikan salah satu potensi wisata Marina di Sumatera Barat. Apabila kondisi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin nasib Taman Laut Kawasan Mandeh dan pulau-pulau eksotik disekitar nya tinggal sejarah. Perlu langkah-langkah dan tindakan nyata untuk menyelamatkan dan melestarikan kecantikan surga bahari ini.

Sebenarnya potensi wisata Kawasan Mandeh tidka hanya pada pantai-pantainya, tapi juga hutan tropis di sekitar perbukitan, hutan mangrove, terumbu karang dan tentu saja pulau-pulau eksotik yang bertebaran disekitar laguna Mandeh.

Masyarakat yang hanya menjadi penonton bisnis pariwisata di kawasan ini menyebabkan mereka mencoba mengais sisa-sisa rupiah yang mengalir dari bisnis pariwisata yanga ada, seperti menangkap ikan-ikan dalam jumlah besar, pengambilan terumbu karang dan pembabatan hutan mangrove dan hutan tropis basah disekitar kawasan ini.

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan Pemerintah Daerah Setempat (Padang dan Pesisi Selatan) dapat berbuat banyak. Diantara dengan menetapkan kawasan ini sebagai kawasan konservasi bahari,. Artinya, melarang aktivitas eksplorasi dalam jumlah besar di kawasan ini. Menjadi kawasan ini sebagai kawasan terlarang untuk penangkapan ikan dalam jumlah besar, mengajak dan mengedukasi masyarakat disekitar untuk tidak mengambil terumbu karang dan bersama-sama engan pemuka masyarakt setempat untuk menjag ahutan mangrove dan hutan tropis dikawasan tersebut.

Masyarakat sekitar harus diberdayakan dengan mengajak mereka ikut serta menjaga satu lagi anugrah kecantikan alam di Sumatera Barat ini.

Pengusaha resort di kawasna ini juga harus berpartisipasi dalam menjaga alam Carocok Mandeh. Mereka harus jug aberparisipasi meningkatkan taraf perekonomian masayrakat sektiar dengan erbagai saluran dan cara.

Upaya rehabilitasi terumbu karang juga harus segera dilakukan, seperti penanaman dterumbu karang. Cara ini sudah berhasil dilakukan masyarakt Singaraja Bali, yang merehabilitasi terumbu karang yang menjadikan kawasan itu sebagai produsen ikan hias ke seluruh dunia.

Keikutsertaan seluruh komponen masyarakat tentu akan mengembalikan kecantikan kawasan mandeh, baik pantai maupun taman lautnya, sehingga mampu bersaing dengan destinasi bahari lainnya di Indonesia dan dunia.

Disamping sebagai kawasan wisata, kawasan mandeh juga memiliki potensi untuk lokasi peternakan ikan hias laut, karena airnya yang jernih dan tenang serta kaya akan makanan menyebabkan ikan dapat berkembang dengan baik. Tinggal bagaimana mengajak masyarakat lokal disekitar kawasan ini untuk menyadari bahwa alam yang mereka miliki adalah surga yang harus dijaga bersama dan dengan upaya bersama.


Thursday, December 6, 2007

MENGHADAPI TSUNAMI, Bersahabat atau Menantang Alam???


Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah postingan di mailing list aktivis minang tentang wacana pembangunan tembok penghalang Tsunami di sepanjang Pesisir Sumatera Barat, terutama di Kota Padang yang memang sangat rawan akan Tsunami.


Ide ini mungkin mengadopsi system pengamanan yang dilakukan Jepang di beberapa kota yang rawan Tsunami di negeri matahari terbit tersebut. Penduduk tidak terlalu memusingkan bencana Tsunami yang mungkin meluluhlantakkan kota karena sudah di lindungi oleh tembok setebal 20 meter dan setinggi 20 mneter. Masuk akal juga, mengingat dengan ketebalan setinggi itu bisa mengurangi dampak destruktif dari Tsunami.

Saya juga membayangkan kalau nantinya di sepanjang Pantai Padang, Purus, parupuk, sampai ke Tiku Pariaman akan dibangun tembok tersebut tentu akan bagus juga, diatasnya dbuat jalan dan kita bisa memandang laut lepas tanpa harus takut terlibas Tsunami yang dapat datang sewaktu-waktu.

Akan tetapi masih dalam bayangan saya tersebut, ketika saya menukikkan mata ke bawah, saya jadi bertanya-tanya, bagaimana nasib nelayan tradisional yang bisanya melabuhkan perahunya di pantai tersebut. Tentu pantai-pantai yang indah yang bertebaran di sepanjang peisisir sumatera barat tidak akan sama lagi bentuknya, karena ada dinding setebal 20 meter dan setingi 20 meter yang menghalangi mat amemandang keelokan sun set di pantai-pantai tersebut.


Akhirnya saya mengulang lagi setting visi di benak saya tentang system pengamanan Tsunami di Kota PAdang yang sangat saya cintai.

Saya teringat sebuah kata-kata yang saya dapat dari seorang pelukis dan seniman Bali yang kebetulan rekan kerja saya di kantor sekaligus guru saya, untuk menaklukkan alam bukanlah dengan melawanya tapi jadikan alam itu sabahat anda, maka alam akan memberikan semua keindahan dan menfaatnya pada anda.

Membangun tembok , meninggikan tanggul, adalah langkah-langkah yang menurut saya adalah langkah melawan fitrah alam. Padahal Allah SWT telah menciptakan keselarasan maha sempurna dari alam yang ini. Apalagi Sumatera Barat yang dikaruniai bentang alam yang maha indah dan beragam. Mengapa kita tidak mengunakan dan menyelaraskan pola hidup kita dengan alam.

Beranjak dari prinsip ini, saya mencoba mereka-reka apa yang sebaiknya dilakukan untuk menghadapi bencana Tsunami yang dapat menyapu peradaban masyarkaat Kota Padang.

  1. Relokasi kota.

Langkah pertama adalah merelokasi kota dengan mengurangi kepadatan pnduduk di pinggir kota. Caranya adalah dengan memindahkan pusat aktifitas kota jauh dari pantai atau lokasi-lokasi yang rawan bencana. Hampir 80 persen aktifitas kota padang berada di pinggir pantai. Padahal daerah yang lebih aman dan luas masih banyak terdapat di kawan timur, seperti sekitar By Pass Baru, Air Pacah dan sebagainya. Pemerointah Kota mungkin dapat mendrive pemindahan pusat aktifitas warga ke daerah ini sehinga dengan sendirinya masyarakat tidak lagi kukuh untuk berada di pinggir pantai.

  1. Kembalikan fungsi alami pantai.

Pantai-pantai di pesisir barat sumatera Barat, khusunya pantai Padang dan pantai Pariaman , Painan, telah beralih fungsi menjadi pantai kota yang dijejali bangunan dan jalan-jalan. Vegetasi alami yang biasanya menhiasi bibir pantai lenyap diganti lapak-lapak dan coran semen. Sehingga, ketika ombak atau air laut pasang, tidak ada satupun benteng yang melindungi. Untuk itu, perlu dilakukan pembangunan sabutk hijau terutama di lokaso-lokasi yang padat penduduk seperti pantai Padang, Ulak Karang, parupuk dan sebagainya. Kalau perlu 500 meter dari bibir pantai dijadikan kawasan steril dari bangunan, jalur hijau, dan harus tetap hijau. Agar vegertasi alami pantai kembali tumbuh dan melinduni kota dari abrasi terjangan air laut.

Beberapa penelitian sudah membuktikan bahwa vegetasi hijau di pantai, seperti hutan bakau, kelapa, nipah bisa melindungi daratan dari abrasi dan meredam energi hempasan Tsunami. Sehingga, kalaupun terjadi Tsunami dn merendam kota, yang ada hanya air genangan yang tidak membahayakan lagi.

  1. Sadarkan masayarakat akan kondisi daerah temapat tinggal dan hidup. Tak banyak maayrakat di Kota Padang yang paham akan kondisi geologis Sumatera Barat yang berada antara Lipatan dan Patahan (cesar) yang rawan akan bencana alam.. Sehingga mereka cenderung tidak antisipatif dan tidak mempertimbangkan aspek-aspek alam dalam pembangunan dan kegiatan. Saya rasa sudah saatnya masayrakat kota Padang untuk bersama-sama menyadari hal tersebut.

Pepatah Prancis mengatakan. ”BEAUTY is PAIN”, Cantik itu sakit, ternyata berlaku untuk kota Padang dan Sumatera Barat. Tinggal di kota dengan lanskap yang cantik memang butuh pengorbanan, dan paling tidak pengorbanan itu adalah dengan mengurangi keserakahan kita untuk mengeksplorasi alam dan siaga terhadap segala bencana yang mungkin menghadang dan datang tanpa diduga.

Akhirnya, apakah kita akan congkak dan menantang alam dengan membangun benteng dan dinding pemisah yang akan emisahkan kita dengan lautan yang sakti dan bertuah, atau justru kita kembalikan kearifan dan keselarasan alam yang pernah kite renggut dengan alasan ekonomi atau apapaun itu? Semua terpulang kembali kepada pilihan kita. Dan mungkin inilah salah satu isyarat prinsip ”Alam Takambang jadi Guru” yang di tuturkan turun temurun oleh Bundo Kanduang dan Mamak-mamak kita dari awal munculnya kebudayaan Minangkabau di Pariangan Padang Panjang ribuan tahun lalu.

Denpasar, 6 Desember 2007

Sunday, August 12, 2007

Mr. Bee…The Lovely Man from Lao

Inthee Chanpaseurdher, or Bee…You know, it’s difficult to remember or even just pronoun the Indo Chine Name. But, this man has unique one. I only remember three words.. BEE, quite simple, isn’t it?

From all 30 participants, Bee is not different with the others. But, in the first time I know him, I see a lot of different and special things in his eyes. Happiness and also sadness, honesty and pride, love and also hope. That’s why, this person interest me. And I try to know him deeper.

His name is Inthee Chanpaseurdher,, or I usually call him as Bee. He comes from Sayabourry, one province in the northern of Lao. He is a Politics teacher in high school, and also teach Politics in some private colleges in Sayaboury as a second job. I met Him when I was joining ASEAN Bridge of Youth 2007, in Kuta Bali. He was one of delegations from Lao PDR.

Many things I learn from Bee. Bee is a Mong, a minority ethnic whose live in the mountains in the northern Lao. It’s new for me, coz I don’t so much about Lao, except this country lies somewhere in indochine region. Bee told me that Mongs a little bit underdeveloped since they live far from city facilities. So, not too much people have good education and nutrition.

But Bee’s mother is a tuff woman. Bee’s father was died when he was 5 years. So, his mother had to work hard to grow Bee and his two younger sisters. Even his mother lives in country side, but she gave good education to Bee. She told Bee that only education can give him a better life. That is why, His mother do anything to make Bee become Bachelor in Politics in University at Vientiane. Bee is also one of rising star in Sayabourry, He is the best one. That’s why the university proposed Him to be a lecturer in University. But He refused it because he wants to taking care his mother and work as a teacher in Sayabourry.

After heard his Story, I really impressed with him. I felt that I am not anything than his sacrifice to his mother. He love his mother very much, left his better job in university, get married with a woman which he not in love for his mother. ‘But, now…I love my wife so much, because she is a very good wife ‘, Bee told me…

He always smile, looks fresh, and kind to everyone even he has big problem, especially about money. He told me that The Lao Government gave him US$ 1.000, but he only got US$ 800 because his department cut for something he didn’t understand. His headmaster also asked Bee to buy a handphone. So, Bee has to owed some money from his father in law because his money wasnot enough to pay accommodation in Bali-Indonesia. I didn’t understand how the people become so cruel to someone who represents their country.

So, I decide to give the best in his trip to Bali. And I take Bee travel around Bali. I am not sure Bee can visit Bali again, at least in these two or three years. I show him some beautiful places in Bali, such as Bedugul, Danau Beratan and also Balinese Temple. I take him to some beautiful beaches, such as Kuta, Nusa Dua and Sanur Beach. I take him to one of the best Padang Restaurant in Denpasar, show him my hometown and my culture.

During the trip, I saw Bee’s eyes looks so bright. He really enjoyed the trip. He said that he never feel as happy as now. And He thanked so much to me. I just smile, and also thanked to god that I can meet this wonderful human being. He has taught me many things about life, and love. He always smiles and looks fresh; even he only has US$ 50 in his pocket to bring him back to Vientiane.

Bee…I wish we can meet again someday even I am not sure since you have to work very hard to give better life to your mother, wife and your lovely son. But I believe we will meet someday. And I also wish you success in your career because you have so many potentials and smart. Bee,you are a great man…

(Denpasar, 12th August 2007, For my Brother..BEE)